Kamis, 23 Desember 2010

Panas Bumi untuk Minyak Atsiri

Panas Bumi untuk Minyak Atsiri


ilustrasi
Indonesia, khususnya Garut, Jawa Barat, memiliki potensi yang sangat besar dalam industri minyak atsiri di dunia, terutama minyak akar wangi atau vetiver root oil. Selama ini puluhan penyuling akar wangi di Garut terjepit di antara dua persoalan: krisis bahan bakar dan tengkulak yang mencekik.
Kebijakan pemerintah akhir tahun 2005 tentang mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga BBM lebih dari 100 persen telah menempatkan para penyuling di ambang kehancuran. Biaya membeli minyak tanah sebagai bahan bakar utama penyulingan naik lebih dari dua kali lipat. Sementara harga minyak akar wangi kerap tak menentu akibat ulah para tengkulak.
Kondisi semakin sulit tatkala banyak penyuling yang ditangkap polisi gara-gara membeli minyak tanah dalam jumlah besar. Aturan pembatasan pembelian menjadi tembok penghalang menyakitkan bagi penyuling yang membutuhkan 250 liter minyak tanah untuk sekali menyuling selama lebih kurang 24 jam. Terlebih untuk bisa keluar dari jerat hukum mereka kerap ”menyetor” uang jutaan rupiah kepada polisi.
Dampaknya, kini, dari 30 penyuling akar wangi, 20 di antaranya kolaps. Lahan akar wangi seluas 2.400 hektar yang tersebar di lima kecamatan pun menyusut menjadi sekitar 1.000 hektar.
Mereka yang masih bertahan menyiasati persoalan bahan bakar ini dengan memakai solar atau oli bekas sebagai bahan bakar. Upaya efisiensi bahan bakar dengan menaikkan temperatur dan mempersingkat lama pembakaran membuat minyak akar wangi gosong karena disuling dengan tekanan 5-6 bar dalam waktu lebih singkat.
Krisis bahan bakar itu menginspirasi sekumpulan anak muda asal Garut yang tersebar di berbagai perguruan tinggi yang tergabung dalam Paguyuban Mahasiswa Asal Garut (Asgar Muda). Mereka menelurkan gagasan pemanfaatan panas bumi sebagai bahan bakar penyulingan. Sebuah gagasan yang—meskipun bukan hal baru—harus diapresiasi karena lahir dari generasi muda di sebuah negara tropis yang masih amat bergantung kepada bahan bakar fosil.
Mereka menilai kondisi Garut sangat ironis. Panas bumi dari sumur-sumur di kawah Kamojang dan Darajat di Garut menghasilkan listrik ratusan megawatt yang bisa dinikmati masyarakat luas. Namun, di tengah potensi energi panas bumi yang melimpah ruah itu masih ada penduduk Garut yang kelangsungan ekonomi keluarganya terganggu akibat kesulitan bahan bakar.
Ketua Dewan Pembina Asgar Muda Goris Mustaqim berpikiran, mengapa tidak sumur-sumur panas bumi Pertamina Geothermal Energy (PGE) yang idle dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menyuling akar wangi. Selain ramah lingkungan, energi terbarukan dan minim polusi ini juga dinilai lebih ekonomis dibandingkan dengan bahan bakar lain.
Serangkaian uji coba telah dilakukan di Laboratorium Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) guna menemukan kalkulasi tekanan, temperatur, dan lama penyulingan yang pas menggunakan panas bumi. Hasil uji coba diperoleh bahwa dengan tekanan optimum 2-3 bar dan lama penyulingan 20 jam bisa dihasilkan rendemen akar wangi hingga 2 persen, lebih besar daripada selama ini sebesar 0,3 persen.
Dengan demikian, kesimpulannya, penggunaan panas bumi pada penyulingan akar wangi dapat meningkatkan rendemen dan kualitas minyak akar wangi.
Secara sederhana, proses destilasi akar wangi memakai panas bumi juga tidak berbeda jauh dengan menggunakan bahan bakar lainnya. Uap panas bumi yang bertekanan sekitar enam bar dengan suhu 145 derajat celsius masuk ke penukar panas dengan kapasitas (debit) 500 kilogram per jam.
Air yang berasal dari kolam dipompakan ke penukar panas sehingga tekanan uap turun menjadi tiga bar dan temperaturnya menjadi 120 derajat celsius.
Uap tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tangki penyulingan yang telah diisi akar wangi yang telah kering. Penyulingan berlangsung sekitar 20 jam dengan tekanan yang dinaikkan bertahap hingga maksimal tiga bar.
Minyak akar wangi dalam akar akan menembus jaringan-jaringan akar (hidrodifusi) dan ikut dalam fasa uap. Campuran uap dan minyak lalu didinginkan di kondensor. Setelah terkondensasi, minyak dan air dipisahkan pada tangki pemisah, air berada di bawah, sedangkan minyak akar wangi berada di atas air.
Bahkan, untuk menyokong idenya itu, Asgar Muda, bekerja sama dengan PT Rekayasa Industri (Rekin), telah membuat prototipe alat penyuling akar wangi berbahan bakar panas bumi. Alat yang dibuat di Laboratorium Teknik Kimia ITB tersebut selesai dikerjakan pada 2008.
Sayangnya, PGE yang diharapkan bisa memberikan panas bumi dari sumur idle-nya untuk dimanfaatkan para penyuling tak juga terealisasi karena alasan sosial. Alat penyulingan yang sudah dibuat pun akhirnya tidak pernah digunakan dan hanya disimpan di PT Rekin.
Dosen panas bumi ITB, Dr Nenny Miryani Saptadji, sangat menghargai gagasan anak-anak muda dari Asgar Muda tersebut. Dari sisi kalkulasi teknis produksi, ide itu tidak diragukan lagi. Akan tetapi, gagasan tersebut akan menghadapi dua kendala utama: suplai panas bumi dan permainan tengkulak.
Nenny mengingatkan, tidak pas jika pemberdayaan penyuling akar wangi dilakukan dengan mengharapkan pemberian uap gratis dari pemerintah. Penyuling akan sulit mandiri jika terus disubsidi. Selain itu, pemanfaatan langsung panas bumi jelas lebih ekonomis dibandingkan dengan bahan bakar lain.
”Sebenarnya tidak ada sumur yang menganggur. Sumur-sumur yang ditutup sementara itu merupakan bagian dari strategi operasional PGE. Sumur tersebut ditutup sementara untuk meningkatkan kembali tekanannya. Jadi, suatu saat akan digunakan lagi. Ini merupakan bagian dari sistem pengamanan pasokan,” ujar Nenny.
Nenny yakin, jika hanya untuk kepentingan uji coba, PGE tidak akan keberatan. Akan tetapi, ketika berbicara bisnis, akan lain ceritanya.
Destilasi minyak akar wangi hanya membutuhkan panas bumi bersuhu rendah (di bawah 125 derajat celsius), sedangkan kebanyakan sumur panas bumi yang ada sekarang bertemperatur tinggi (225-350 derajat celsius). Sementara menurunkan suhu panas bumi dari sumur yang ada pun dinilai buang-buang energi.
Jalan tengah yang mungkin dilakukan ialah Asgar Muda meminta bantuan PGE mencarikan kawasan potensial panas bumi bersuhu rendah. Akan lebih baik jika dengan pengeboran yang dalamnya tidak lebih dari 1 kilometer.
”Biaya untuk mengebor dua sumur berkedalaman 2 kilometer-2,5 kilometer saja mencapai Rp 50 miliar. Pertamina bisa saja dimintai bantuan untuk mencarikan kawasan panas bumi bersuhu rendah. Tapi pertanyaannya kemudian, siapa yang mau membiayai pengeboran sumurnya?” kata Nenny.
Andai saja harga jual minyak akar wangi tinggi dan tidak dikendalikan oleh tengkulak, ujar Nenny, ada kemungkinan bisnis minyak akar wangi memakai panas bumi akan menarik secara ekonomis. Dengan demikian, investasi dengan mengebor sumur sekitar 500 meter dengan biaya Rp 10 miliar, misalnya, tetap menjanjikan karena harga jual minyak akar

0 komentar: